728x90 AdSpace

Latest News
Wednesday, March 7

Belajar dari Bocah Penjinak Angin


Aku mencengkram buluh dan kabel, menunggu datangnya keajaiban. Akhirnya saat itu tiba, awalnya hanya terlihat sepercik cahaya yang berpijar di tanganku, kemudian muncul sebuah gelombang cahaya yang megah. Orang-orang di bawah terkesiap, anak-anak saling dorong agar dapat melihat lebih jelas.

“Ternyata berhasil!” seseorang berkata.
“Ya,” kata yang lain. “Anak itu sudah berhasil melakukannya.”

Saat itu di Malawi tahun 2002 seolah merupakan mimpi buruk bagi masyarakat di tenggara Afrika tersebut. Bencana banjir yang diikuti oleh kekeringan menyebabkan rakyatnya yang sebagian besar memperoleh makanan dengan bertani, menderita kelaparan. Tragisnya kejadian itu sampai membunuh ribuan orang. Untuk mendapatkan makanan saja, ada yang rela setiap harinya menjadi ganyu – pekerja – untuk melakukan apa saja, menjual seluruh isi perabotan rumahnya, bahkan mereka terpaksa memakan gaga – kulit jagung, pen-. Banyak di antara mereka yang paginya keluar mencari makan untuk keluarganya, tiba-tiba saja mati bergelimpangan di tengah jalan. Kondisi yang sangat memilukan. Seorang bocah pun terpaksa putus sekolah karena ayahnya tak mampu membiayai uang sekolahnya.

Di negeri itu, sungguh bersekolah merupakan kegiatan yang sangat langka. Ilmu pengetahuan masih di anggap sebagai misteri. Namun sang bocah bercita-cita untuk membangun kincir angin yang berfungsi membangkitkan listrik dan mengalirkan air ke ladang orang tuanya agar dapat panen dua kali dalam setahun. Modal bocah kecil berusia 14 tahun ini sesungguhnya hanyalah pengetahuan listrik dasar yang diketahuinya dari buku-buku di perpustakaan sekolah – ia masih belajar di perpustakaan setelah putus sekolah – seperti: Integrated Science dan Explaining Physics. Namun buku yang paling mengubah kehidupannya adalah buku dengan cover kincir angin yang berjudul: “Using Energy”. Selain itu, modal lainnya adalah barang-barang bekas yang ia temukan di sana sini, mulai dari rongsokan alat-alat berat yang ia temukan di seberang Sekolah Menengah Kachokolo -tempat terakhir sebelum putus sekolah-, sepeda tua ayahnya sampai tali jemuran ibunya.

Kincir angin buatannya akhirnya mampu memberikan anugerah tersendiri untuknya. Selain ia berhasil membangkitkan listrik yang dinikmati oleh 2% penduduk Malawi, ia pun mampu membiayai pendidikan temannya Gilbert -yang selalu ada di saat William membutuhkan-, sepupunya Geoffrey dan beberapa anak tetangganya. Hal yang paling menyenangkan adalah saat berita mengenai magetsi a mphepo – mesin listrik – ini tersebar ke luar Malawi dan ia akhirnya bisa berkeliling dunia dan memperoleh beasiswa di ALA (African Leadership Academy), sebuah sekolah menengah atas pan-Afrika di Johannesburg Afrika Selatan.

Sebuah kisah nyata (diringkas dari novel: Bocah Penjinak Angin)  ini sungguh menyadarkan kita semua bahwa siapa pun kita, berapa pun usianya, bermacam watak dan juga profesinya, kita mampu memberikan kontribusi yang nyata untuk negara kita, bukan sekedar angan-angan belaka. Sudah terlalu banyak permasalahan di negeri ini, jangan ditambah lagi dengan terus-terusan menyalahkan penyebab dari semua permasalahan, siapa otaknya, mereview berulang2 kronologisnya dan perbuatan serupa yang melelahkan. Biarlah yang lalu-lalu dijadikan pembelajaran sekilas dan memotivasi kita untuk menyelesaikannya.

Lihatlah bocah bernama William Kamkwamba ini. Ia tahu bahwa penyebab putusnya ia sekolah adalah karena permasalahan kelaparan, buruknya pemerintahan, dan jeleknya sistem pendidikan di negaranya. Tapi ia tidak terus-terusan berpikir bahwa itu adalah akhir dari segalanya. Ia masih terus bermimpi dan memastikan harapannya terkabul bersama gerakannya. Mulailah ia berpikir bahwa ia dapat membuat kincir angin yang nantinya bisa mengairi ladang ayahnya. Dengan itu, ia berharap semoga ayahnya bisa panen dua kali dalam setahun dan uangnya bisa digunakan membiayai sekolahnya. Sederhana saja. Tak perlu susah-susah untuk bergerak.

Seperti kata Ustadz Anis Matta, “Yang membedakan antara seorang pahlawan dan bukan pahlawan itu adalah geraknya.”
Dan bila kita menyadari kemuliaan agama ini, bukankah setiap apapun amalan kita yang dilandasi untuk mencari keridhaan Allah adalah sesuatu yang bernilai pahala??? Enak dong sebenarnya… kita bisa mengumpulkan pahala tanpa batas. Karena memang luasnya medan kompetisi itu tidak berbatas, kecuali oleh batasan kebaikan itu sendiri.

Yok, yok, yook… Kita lihat… Pagi-pagi, kita beranjak dari pembaringan, lalu membaca doa usai bangun tidur. Lalu menyikat gigi dan berwudhu’, shalat, tilawah, doa, kemudian membereskan rumah, mandi, sarapan, berangkat sekolah/kampus, keluar rumah, naik kendaraan, belajar dst, dst….

Jika semuanya berlandaskan niat karena Allah, akan terlihat seperti rangkaian amalan yang tiada putusnya. Subhanallah ya… sesuatu….
Tapi, mesti diingat juga sebagai orang muslim, Muslim yang baik adalah Muslim yang banyak manfaatnya bagi orang lain. Analogi antara orang yang hidup untuk dirinya sendiri dan hidup untuk orang lain, menurut Sayyid Quthb adalah seperti orang kerdil dan orang besar. Lebih lanjut beliau mengatakan, “Orang yang hidup bagi dirinya sendiri akan menjadi orang kerdil dan mati sebagai orang kerdil. Akan tetapi, orang yang hidup bagi orang lain akan menjadi orang besar dan mati sebagai orang besar.”

Kalau dilihat-lihat di masa sekarang, memang kita lebih banyak menemukan orang yang hidup untuk dirinya sendiri. Ya, duniaku duniaku, duniamu terserah kamu.”
Padahal di dalam Islam sendiri, tingkatan tertinggi dalam persaudaraan adalah itsar, alias mendahulukan kepentingan saudaranya dibandingkan kepentingannya sendiri. Ada wujud kepedulian di sana. Contohnya, kepedulian terhadap kasus kelaparan atau bencana misalnya. Maka seyogianya kepedulian kita tersebut diiringi dengan langkah nyata. Bukan hanya sekedar berkata “Innalillahi, kasihan ya…. Alhamdulillah kita nggak ditimpa bencana seperti itu.” Tapi wujud yang lebih aslinya adalah dilihat dari tindakan kita. Dengan mengeluarkan beberapa lembar dari dompet, menggelar aksi pengumpulan dana, dllsb…

Sebenarnya sih, kalau kita mau lebih peka, masih banyak hal yang bisa kita lakukan untuk orang-orang di sekitar kita. Misalnya,
Membangun perpustakaan mini untuk orang-orang di sekitar rumah
Buat mading, buletin Jum’at dan bacaan yang membangun. Bisa ditempel di papan pengumuman masjid

Buat kelompok hafalan untuk anak-anak yatim atau anak-anak di tempat kita bermukin. Bisa juga dengar mengajar ngaji, dst. Usahakan kita juga menyisipkan cerita-cerita inspiratif, seperti kepahlawanan tokoh-tokoh Islam, ilmuwan Islam, kepribadian nabi, dllnya. Sehingga mereka menyadari bahwa sesungguhnya Islam itu benar2 melekat di hati mereka
Mengikuti berbagai perlombaan. Insya Allah dapat mengharumkan nama Islam.
Untuk yang mengikuti organisasi intra kampus/sekolah, usahakan untuk selalu memberikan-memberikan ide-ide dan solusi terbaik, sehingga pendapat kita turut dipertimbangkan dan lebih mudah menjalankan misi-misi keislaman.

Bisnis apa saja, asal halal. Sebenarnya apa saja bisa dijadikan bisnis. Mulailah dari bisnis yang kecil-kecilan, seperti menjual pembatas buku, pin, kaos kaki, pulsa, dllnya. Seperti misalnya untuk membuat pembatas buku, tidak memerlukan modal yang mahal, bisa dibuat dari bekas undangan pernikahan. Tentunya setelah itu, jangan lupa memberikan sedekahnya untuk perkembangan Islam.
Sumbangkan program kerja yang bermanfaat buat siapa saja.
Membuat buku, artikel, dll.
Memperbanyak sosialisasi
“Mereka hanya manusia biasa yang berusaha memaksimalkan seluruh kemampuannya untuk memberikan yang terbaik bagi orang-orang sekelilingnya. Mereka merakit kerja-kerja kecil menjadi sebuah gunung, karya kepahlawanan adalah tabungan jiwa dalam masa yang lama.” Itulah sekelumit penjelasan dari Ustadz Anis Matta tentang kepribadian seorang pahlawan.
So, tak ada alasan untuk tidak berbuat kan….??? Karena semua masalah di sekeliling kita bisa disulap melalui tangan-tangan kita :D Keterbatasan itu bukan hambatan, karena Kamkwamba saja bisa menjadi emas berharga dalam kondisi negaranya yang kritis. Kenapa kita tidak???


Sumber: dakwatuna
  • Blogger Comments
  • Facebook Comments

1 comments:

Item Reviewed: Belajar dari Bocah Penjinak Angin Rating: 5 Reviewed By: Unknown